Entahlah.. malam ini terasa sakit sekali. sebegitu sakitnya hingga aku tak bisa lagi berpikir baik dan buruk. Aku hanya ingin menyelamatkan diriku dari dilema yang tak berkesudahan ini. Aku menyerah..
Bersabar sudah menjadi makananku, hanya saja aku tak akan sanggup mencernanya ketika kesabaran itu hanya aku yang menelannya, setiap hari, sepanjang waktu, hanya aku sendiri. Dimana peranmu?
Bukankah laki laki seharusnya mengayomi wanita, memberikan perlindungan ketika wanitanya butuh bahu untuk sandaran, bukan untuk disakiti dan dicaci maki. Aku sudah cukup puas dengan segala sikap dan egoisme yang kau tunjukkan. Dan aku lelah..
Mungkin sekarang saatnya aku mengambil keputusan, setelah sepuluh tahun menanti datangnya perubahan. Tapi tidak! apa yang kuharapkan tak pernah datang. Malah keadaan semakin memburuk. Aku manusia biasa, aku tidak punya cukup kesabaran menghadapi ini semua, hatiku tidak seluas samudra, ya... aku hanya wanita biasa.
Sekarang anak anak kita telah tumbuh besar, sedikit banyak mereka telah mengerti setiap kata yang terucap dari pertengkaran ini. Aku tidak ingin anak anakku terganggu dan ikut tersakiti. Aku ingin menjauh darimu, membawa serta anak anakmu. Karena kutahu hanya itu yang terbaik untukku dan anak anakku. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Aku telah mencoba menyamakan langkah, tapi tetap tidak bisa. Menikah ibarat sepasang kaki yang selalu berjalan beriringan, meskipun salah satunya melangkah terlebih dulu, kaki yang lain akan segera mengikuti, saling mendukung, saling menguatkan, dan tidak saling menang sendiri. Tapi tidak dengan pernikahan ini.
Aku menyesal mengambil keputusan ini, aku sungguh menyesal, dan aku terluka... sakit..., tapi tidak banyak memori indah yang kudapatkan saat bersamamu. Rasa sakit ini hanya akibat penyesalan untuk perpisahan ini, setelah sepuluh tahun bersama dalam suka dan duka. Tapi sekali lagi kesabaran ada batasnya, dan kamu selalu menguji kesabaran itu. Dan kini aku memberanikan diri untuk lepas dari ikatan ini. Pelan tapi pasti... aku yakin, aku akan lebih bahagia tanpamu.
Bersabar sudah menjadi makananku, hanya saja aku tak akan sanggup mencernanya ketika kesabaran itu hanya aku yang menelannya, setiap hari, sepanjang waktu, hanya aku sendiri. Dimana peranmu?
Bukankah laki laki seharusnya mengayomi wanita, memberikan perlindungan ketika wanitanya butuh bahu untuk sandaran, bukan untuk disakiti dan dicaci maki. Aku sudah cukup puas dengan segala sikap dan egoisme yang kau tunjukkan. Dan aku lelah..
Mungkin sekarang saatnya aku mengambil keputusan, setelah sepuluh tahun menanti datangnya perubahan. Tapi tidak! apa yang kuharapkan tak pernah datang. Malah keadaan semakin memburuk. Aku manusia biasa, aku tidak punya cukup kesabaran menghadapi ini semua, hatiku tidak seluas samudra, ya... aku hanya wanita biasa.
Sekarang anak anak kita telah tumbuh besar, sedikit banyak mereka telah mengerti setiap kata yang terucap dari pertengkaran ini. Aku tidak ingin anak anakku terganggu dan ikut tersakiti. Aku ingin menjauh darimu, membawa serta anak anakmu. Karena kutahu hanya itu yang terbaik untukku dan anak anakku. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Aku telah mencoba menyamakan langkah, tapi tetap tidak bisa. Menikah ibarat sepasang kaki yang selalu berjalan beriringan, meskipun salah satunya melangkah terlebih dulu, kaki yang lain akan segera mengikuti, saling mendukung, saling menguatkan, dan tidak saling menang sendiri. Tapi tidak dengan pernikahan ini.
Aku menyesal mengambil keputusan ini, aku sungguh menyesal, dan aku terluka... sakit..., tapi tidak banyak memori indah yang kudapatkan saat bersamamu. Rasa sakit ini hanya akibat penyesalan untuk perpisahan ini, setelah sepuluh tahun bersama dalam suka dan duka. Tapi sekali lagi kesabaran ada batasnya, dan kamu selalu menguji kesabaran itu. Dan kini aku memberanikan diri untuk lepas dari ikatan ini. Pelan tapi pasti... aku yakin, aku akan lebih bahagia tanpamu.
No comments:
Post a Comment