Monday, September 18, 2017

DAY 5 | PHOBIA




Bismillah

Day 5

Ngga terasa sudah memasuki hari kelima.
Kali ini mau cerita tentang apa yaaa.. hmmm tentang phobia yang kualami dan masih menempel sampai setua ini. Tunggu ceritaku yaa
Meski nanti suka terhenti berjam jam, tapi janji deh, cerita tentang phobiaku ini akan berakhir memuaskan. iiihh...phobia kok memuaskan, maksudnya memuaskan ceritanya. Kalau aku sih berharapnya bisa ngilangin phobia ini. Karena asli bikin ketakutan seumur hidup!
Kalau mau jujur sebenarnya aku itu penakut, amat sangat penakut sekali malah. Dari kecil itu takut gelap, takut kesendirian, sama takut binatang melata. Dan ketakutan itu menetap sampai usiaku sudah sedewasa ini. Padahal kedua orang tuaku itu ngga punya sifat penakut sepertiku. Jadi jangan bilang kalau sifat penakut itu diturunkan dari orang tua ya. Karena belajar dari pengalaman, bapakku itu orangnya pemberani. Waktu aku masih kecil dulu, bapak sering laku prihatin. Maksudnya bapak suka bangun tengah malam, sholat malam, kemudian duduk di depan rumah antara jam 1 malam sampai shubuh sambil dzikir sendirian. Maklumlah dulu keluargaku punya musuh dari teman dagang bapak ibu. Orang yang dendam pada keluargaku ini suka mengirim tenung atau santet untuk menyakiti keluargaku dan kalau bisa mungkin ingin menghabisi seluruh keluarga. Bapak bertanggung jawab melindungi kami semua, makanya bapak selalu berdoa, sholat malam dan laku prihatin agar keluarga kami terhindar dari bahaya tenung kiriman orang jahat. Ini bukan cuma kecurigaan loh, ini benar benar kejadian nyata. Dan aku masih ingat setiap detail kejadian sampai sekarang padahal waktu itu aku masih kecil, masih kelas 1 sekolah dasar. Setiap malam kami mendengar suara menggelegar seperti suara petir, suara tembakan dan suara seperti lemparan batu diatas genteng rumah kami. Yang kemudian disusul dengan suara anjing yang melolong lolong. Setiap malam kami dihantui ketakutan. Berbekal keyakinan jika santet tidak akan mengenai orang yang tidur dengan alas tidak melebihi tinggi lutut, maka kami sekeluarga selalu tidur bersama sama di ruang depan diatas tanah (dulu rumah kami masih berlantai tanah) dengan beralaskan tikar pandan. Bisa kalian bayangkan, betapa setiap malam kami tersiksa. Setiap tengah malam terdengar suara suara ledakan, bahkan terlihat percikan api diatas genteng rumah. Aku dan adikku hanya bisa menangis ketakutan di pelukan ibu. Jika suara suara itu sudah reda, bapak keluar rumah dan duduk menatap langit. Pernah pagi pagi aku tak sengaja mendengar percakapan bapak dan ibu. Katanya bapak semalam melihat makhluk aneh berdiri di depan jalan persis di depan rumah. Mahkluk hitam tinggi besar bermata merah menyala sebesar tatakan gelas. Aku berlari ketakutan memeluk ibu.
Dan kejadian seperti itu kami alami hampir setahun lamanya. Mungkin pengirim santet itu sudah bosan dan kehabisan modal untuk membayar dukun tapi tidak sanggup melukai kami. Karena kami percaya ada Allah yang selalu melindungi keluarga kecil ini. Karena pengalaman pahit masa kecilku, tak heran hingga sekarang aku punya phobia gelap dan kesendirian. Aku benar benar tidak suka kegelapan, tidak suka sendiri di tempat sepi. Bayang bayang pahit ketakutan masa lalu selalu muncul dan berlarian di depan mataku jika aku berada dalam gelap dan sendiri.
Dulu, masa kecilku ekonomi keluarga tidak begitu baik. Boleh dibilang, keluargaku masuk kalangan keluarga dibawah rata rata alias masuk golongan miskin di kampung. Warga kampung punya mata pencaharian utama di bidang pertanian. Tak heran jika rata rata setiap keluarga di kampungku punya sawah, kebun atau tegal yang luas untuk ditanami berbagai macam tanaman yang menghasilkan, kecuali keluarga kami. Aku merasa banyak orang yang memandang rendah kami karena kami miskin. Karena setiap aku ingin berteman dengan anak anak sebayaku, orang tuanya selalu melarang mereka bermain denganku. Terang terangan mereka melarangnya, ketika asyik bermain, teman temanku selalu saja di suruh pulang jika ada aku diantara mereka. Tapi jika aku tidak membaur dan hanya memandang dari kejauhan, maka anak anaknya dibiarkan bermain sepuas hati. Karena usiaku masih anak anak, semua itu tidak kumasukkan dalam hati, hanya saja ibuku yang selalu terlihat sedih dan kecewa. Penolakan dari masyarakat karena mereka merasa tidak pantas bergaul dengan orang miskin seperti kami inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya sifat pemalu, tertutup dan tidak percaya diri pada diriku. Kini baru kusadari, lingkungan punya andil besar untuk terbentuknya pribadi seseorang.



Karena keluargaku tidak punya lahan untuk ditanami, otomatis bapak dan ibu tidak bisa menjadi petani. Mereka banting tulang berdagang ke pasar untuk menopang ekonomi keluarga. Bapak sudah tidak lagi kerja di pabrik karena tempat kerjanya gulung tikar. Maka bapak bertugas membuat kue dan berbagai olahan makanan di rumah, ibuku yang menjualnya ke pasar. Kalau sudah pulang dari pasar maka mereka berdua bahu membahu saling bekerja sama di rumah. Nah, karena dari kecil aku tidak pernah dikenalkan dengan namanya sawah, ladang, kebun, atau tegal, makanya biarpun anak kampung, aku tidak akrab dengan semua itu. Bukan karena malas apalagi karena takut kulit hitam terbakar matahari, bukan...itu lebih karena keluarga kami tidak punya lahan untuk disinggahi. Tak heran jika kemudian aku phobia dengan berbagai binatang yang singgah di tanaman. Salah satunya jenis ulat, mau itu yang berbulu, yang mulus, yang kecil, lebar, hitam, coklat, hijau, gemuk atau gepeng, aku tetap phobia. Dan phobiaku terhadap binatang ini diatas rata rata sampai sekarang.
Pernah dulu waktu membantu ibu memasak di dapur, aku dapat bagian menyiangi sayuran. Bapak bercerita banyak hal dan ibu juga menimpalinya dengan candaan, aku tertawa tawa mendengarnya. Pekerjaan jadi terasa ringan dan tidak membosankan. Saking asyiknya, aku sampai tidak memperhatikan kalau tanganku memegang sesuatu, karena aku keasyikan main tebak tebakkan dengan bapak ibu. Semakin lama, perasaanku makin tidak enak. Benda ditanganku yang sebesar karet pentil itu terasa sangat empuk, lembut, dan menggeliat geliat……
Refleks aku menunduk memandang jari tanganku yang menggenggam sesuatu. Dan tiba tiba, “Huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…………………….aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!! Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Teriakanku membahana mengalahkan suara toa masjid. Mukaku pucat pasi, badanku gemetaran, mataku mendelik, tangan terasa kaku dan sulit digerakkan, sementara mulutku mangap sambil mengeluarkan teriakan bak petir menyambar nyambar di siang bolong. Bapak ibu serentak berlari kearahku. Ibu panik karena melihat tanganku yang sebelah kanan memegang pisau tajam untuk memotong sayuran teracung ke depan, sementara tangan kiriku terlihat kaku tak bisa digerakkan. “ono opo, lis…!! Ono opo...koe nopo??” teriak bapak dan ibu panik. Karena rumahku tepat dipinggir jalan, maka teriakanku juga mengundang perhatian mereka yang berlalu lalang, tetangga kiri kanan, atas bawah, semua merangsek masuk ke dalam rumah. Berlarian mereka ingin melihat ada kejadian apa sampai aku berteriak teriak seperti kesetanan. Karena teriakanku tak kunjung berhenti, dan melihat mukaku yang pucat pasi, maka para tetangga segera berinisitif memanggil pak Kyai untuk menolongku. Tak berselang lama, pak Kyai datang, beliau lekas mendekatiku, dengan usapan lembut beliau menenangkanku, mengusap punggung dan kepalaku. Ketakutanku sedikit mereda setelag beliau memberiku minum air putih yang sudah dibacakan doa. Setelah tenang dan nafasku mulai teratur. Pelan pelan Pak Kyai bertanya kepadaku apa yang terjadi. Celingak celinguk aku kaget melihat banyak orang berkumpul di rumah tanpa kusadari. Dengan muka tidak bersalah aku menunjukkan penyebab ketakutanku tadi. Jariku menunjuk seekor ulat sayur hijau sebesar karet yang menggeliat geliat dengan kulit hijau mulusnya di samping keranjang sayur karena tadi terjatuh dari tanganku.
Orang orang ikut penasaran dan ikut melongok. Dan kemudian terdengar koor serempak dari mereka, “Oalaaaaaahhh...cuma ulat kecil gituuuuu...huuuuuuuuu”
Wkwkwkw...penonton kecewa. Tapi ketakutanku nyata. Maafkan anakmu yang lebay ini ya pak, bu..hehee.
Kejadian yang menggegerkan warga sekampung itu akhirnya menjadi cerita lucu yang membuat mereka tertawa dan tersenyum. Tapi bagiku itu sama sekali tidak lucu, titik!
Aku takut ulat, apapun jenisnya. Kalau masak sayur dan kebetulan saat menyiangi sayur aku menemukan ulat yang mengagetkan, bisa bisa aku ngga jadi masak. Semua sayur yang kubeli di pasar akhirnya berakhir di tong sampah. Makanya aku selalu teliti sebelum membeli. Lebih baik aku membeli sayuran dengan harga yang lebih mahal asal bersih daripada asal beli sayuran tapi akhirnya dibuang. Ngga heran kalau aku teliti sekali saat membeli. Pernah juga aku berteriak di pasar karena tak sengaja menemukan ulat, penjual langsung memotong bagian sayuran yang berulat dan meyakinkanku jika ulat itu datang dari sayuran yang lain, bukan sayuran yang kupilih. Tapi tetap saja, namanya takut. Sampai di rumah hati masih berasa banget deg degan, terbayang bayang.



Menebus Rasa Bersalah
Kalau aku pulang ke kampung halaman, sering kudapati ibu murung dan merasa bersalah karena terus teringat masa kecilku yang tidak menyenangkan. Sekarang keadaan ekonomi bapak ibu membaik bahkan bisa dibilang termasuk diatas rata rata di kampung kami. Aku bersyukur karena akhirnya kami bisa melewati semua itu. Beberapa tahun kemarin, bapak ibu membeli ladang yang sangat luas, katanya ini untuk anak cucunya biar mereka ngga merasakan apa yang dirasakan anak anaknya bapak sama ibu. Ladang itu ditanami sayuran, cabe, buah buahan, ketela, pepaya, dsb. Setiap kali aku dan keluarga kecilku pulang kampung, bapak sama ibu dengan penuh suka cita mengajak cucu cucunya bermain di ladang dan melakukan apapun yang mereka suka. Memetik cabe, buncis atau sekedar perosotan di tanah, tak pernah bapak ibu marah. Hanya saja mereka tak pernah berhasil membujukku untuk ikut panen atau sekedar membantu menanam biji, “ngga perlu banyak banyak, semampumu saja, lis...kalau capek istirahat di gubug..” selalu seperti itu mereka merayuku agar mau mengenal ladang. Terkadang untuk menyenangkan hati, aku mengiyakan. Tapi ketika tak sengaja mataku menemukan ulat di sela sela dedaunan, aku langsung ngacir berlari pulang. Bapak ibu hanya geleng geleng kepala.
Padahal aku sudah berusaha keras menghilangkan phobia ini, bapak ibu juga sudah melakukan sesuatu semaksimal mungkin agar aku tidak terlalu ketakutan. Tapi nyatanya, sampai sekarang aku tidak bisa menghilangkannya.
Entahlah…
Makanya sekarang aku berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga anak anakku agar mereka tidak memiliki ketakutan sepertiku.

No comments:

Post a Comment